Teguran dari Hati Nurani


SUATU hari, ketika saya marah dan emosi saya memuncak. Tiba-tiba terjadi perbincangan antara diri saya dan hati nurani saya. Kira-kira seperti inilah percakapan itu:
Hati Nurani: Kenapa jadi mudah emosi? Bukankah kamu sudah mulai memahami dan menerapkan ilmu tentang kesabaran?
Saya: Iyah. Saya sudah belajar memahami dan menerapkan ilmu tentang kesabaran. Awalnya saya mulai terbiasa. Tapi ada satu titik dimana saya merasa saya jadi lemah karena kesabaran itu sendiri.
Hati Nurani: Kamu belum menerapkannya secara sempurna.
Saya: Maksudnya?
Hati Nurani: Lisan dan hati kamu masih belum kompak untuk menerapkan ilmu kesabaran itu.
Saya: Iyah kamu memang benar. Tapi pada kenyataannya, karena terlalu sering sabar, saya jadi sering dianggap remeh.
Hati Nurani: Disitulah hakikat sabar. Ketika kamu mampu sabar akan sebuah hal. Tentu saja ujian kesabaran berikutnya akan datang. Itu menunjukkan kamu sudah lulus level pertama, dan harus diuji pada level berikutnya.
Saya: Tapi sampai kapan?
Hati Nurani: Sampai tidak ada lagi waktu dan kesempatan untuk kamu belajar tentang kesabaran.
Saya: Ketika saya sudah dewasa?
Hati Nurani: Tidak. Ketika dewasa, justru ujian kesabaranmu akan terus meningkat ke level yang lebih tinggi.
Saya: Lalu kapan?
Hati Nurani: Sampai akhir hidupmu.
Saya: Astaghfirullahaladzim. Ya Allah maafkan hamba yang terlalu sering mengeluh akan semua ujian kesabaran yang engkau berikan.Hamba sering mengaku pada diri hamba sendiri, bahwa hamba adalah orang yang sabar, sedangkan ketika diberi ujian terus menerus hamba justru mempertanyakan kenapa ujian kesabaran itu seolah tidak ada habisnya. Padahal di situlah jawabannya.
Iyah. Selama hamba masih diberi waktu dan kesempatan untuk hidup, selama itu pula ujian kesabaran akan terus hadir.
Hati Nurani: Kamu sudah mengerti tanpa perlu saya jelaskan. Dan ingat,
bahkan ketika kamu sudah sampai pada level kesabaran paling tinggi sekalipun itu bukan pertanda bahwa ujianmu telah usai. Kamu harus belajar lagi ilmu tentang Keikhlasan dan kesyukuran. Keikhlasan dan rasa syukur yang ada pada dirimu masih sangat jauh dari kata cukup.  Renungkanlah hal itu!
Saya: (Meneteskan air mata) Merasa terlalu angkuh pada diri sendiri.
Terimakasih Hati Nurani. Kamu selalu bersamaku. Menegur diriku yang seringkali lalai dalam urusan yang kadang hanya nampak oleh mataku. Hingga aku lupa jauh di dalam hatiku, kamu masih hidup. Masih terus terusik dengan ulahku.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Teguran dari Hati Nurani"

Post a Comment